Jumat, 03 Desember 2010

Cerpen'09 Hanya Dia

Kujalani hari ini seperti biasanya. Hari yang nggak jauh beda dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari yang kurasakan membosankan, namun tetap kujalani dengan enjoy. Aku bersekolah di sebuah SMA Negeri di pinggir kota yang tentunya nggaklah jauh dari rumahku. Sekolahku ini merupakan sekolah yang di cap paling baik dan merupakan sekolah unggulan di kotaku ini. Dengan fasilitas yang sangat memadai serta guru-gurunya yang propesional tentunya.


Memang aku merasa sangatlah bangga dapat kesempatan menuntut ilmu di sini. Syukur-syukur aku memiliki sedikit prestasi, sehingga aku bisa bersekolah dengan gratis di sini. Ya ... benar aku memang mendapatkan beasiswa. Kalau nggak berkat beasiswa, mana mungkin aku bisa sekolah di sekolah ini. Aku hanyalah anak seorang buruh serabutan. Dan tentunya nggak akan mungkin orang tuaku bisa menyekolahkanku di sekolah sekeren ini, yang satupun muridnya nggak ada dari kalangan kelas ke bawah kecuali aku ini. Mereka semua merupakan anak-anak orang terhormat, anak-anak pejabat, bahkan anak dari orang yang sangat dihormati di kotaku ini juga sekolah di sini.


Rata-rata mereka semua pintar-pintar, sekolahnya pun nggak ada yang pakek motor atau naik angkot, apalagi jalan kaki. Kalau mereka nggak bawa mobil sendiri, paling juga mereka diantarkan oleh sopir pribadinya. Tapi, entah kenapa dengan kemewahan yang mereka miliki itu, mereka semua jadi besar kepala. Nggak cowok, nggak cewek semuanya sama, sombongnya bukan main. Heran aku pada mereka.
Satupun nggak ada yang mau menganggapku sebagai teman. Dengan alasan aku ini miskinlah, bisa sekolah di sini karena gratisanlah wong n’desolah. Aku juga dianggap sebagai perusak pemandangan oleh mereka.

Aku merasa bagaikan bunga bangkai dengan baunya yang sangat nggak sedap. Tumbuh diantara tanaman mawar dengan baunya yang sangat harum. Tapi batangnya penuh dengan duri yang menyakitkan.
Itu semualah yang menyebabkan hari-hariku terasa membosankan. Bosan mendengarkan ocehan-ocehan anak pejabat, anak-anak orang terhormat, yang hampir membuat gendang telingaku pecah. Bosan melihat tatapan-tatapan mata galak yang seolah-olah ingin menghabisi diriku, yang menginginkan supaya aku nggak sekolah di sini lagi. Namun, aku merasa bosan bukan berarti aku juga bosan dengan kewajiban utamaku, yaitu belajar. Nggak mungkin.


Hari demi hari kujalani tanpa adanya sosok teman. Teman yang mau kuajak bercanda, menceritakan sesuatu, curhat di sela-sela jam kosong ataupun jam istirahat. Kecuali guru-guruku yang menyempatkan diri dan meluangkan waktunya sedikit untuk ngobrol denganku. Terkadang aku berpikir. ”Kenapa mereka nggak mau berteman denganku? Apa salahnya kalau mereka berteman denganku? Mungkinkah dengan berteman denganku kekayaan mereka akan sirna? Kepintaran mereka akan lenyap begitu saja?” Aah... benar-benar aku nggak ngerti dengan mereka semua. Tapi, kenapa juga aku mikirin mereka. Toh mereka nggak akan pernah mikirin aku.


Hingga suatu hari, saat aku sedang asyik baca buku di taman sekolah. Segerombolan anak-anak cowok, ya.. boleh dibilang geng dengan gaya-gayanya yang lebay dan besar kepala juga tentunya lewat di depanku. Nggak sengaja aku dengerin obrolan mereka.
”Hey bro.. Lho udah tau nggak kalo besok ada murid baru yang pindah ke sekolah kita tercinta nie?”
”Idiih... Lagut lho sekolah tercinta. Emang pindahan dari mana itu cewek?”
”Gue denger-denger sih dari Jakarta katanya. Gue juga denger-denger itu cewek cantik banget.”
”Wow... Harus gue dapetin itu cewek.” “Ah, gue pastinya yang akan dapetinnya.”

Mereka ngerebutin itu cewek, padahal mereka belum tahu gimana itu cewek sebenarnya. ”Paling juga itu cewek sama aja dengan mereka semua, lebay dan sombong juga.” Pikirku.

Keesokan harinya, pas aku sampai di depan gerbang sekolah tiba-tiba ada mobil berhenti di depanku. ”Ait.........” Aku kaget. Keluarlah sosok seorang cewek yang rasanya baru pertama kali kulihat dari dalam mobil dengan parasnya yang sangat cantik menurutku, meski tanpa make up di wajahnya. Penampilanya sangat sederhana dan rapi. ”Mungkin dialah anak pindahan itu.” Ku berkata dalam hati.
”Hay................” Dia menyapaku.
”Hay juga.” ”Ya Tuhan.. Akhirnya ada juga yang mau nyapa aku.” Dalam hatiku.
“Kenalin, aku Sri..” Sambil bersalaman denganku. “Ya.. Aku Ade. Anak baru ya?”
“Ya.. bener sekali. Aku pindahan dari Jakarta.”
“Oh.. Kalo boleh tahu kamu dapet kelas di mana?”
”XII IPA3.” Jawabnya sambil tersenyum kepadaku. ”Ya Tuhan.. Bener-bener cantik banget nie cewek.” Dalam hatiku. ”IPA3? Kebetulan sekali, bareng ama aku aja masuknya!”
”Ayuk....” Kami berdua pun menuju ke kelas bersama-sama, sambil ngobrolin tentang kepindahanya.
Ternyata Sri orangnya asik banget. Mungkinkah kalau dia tahu keadaanku sebenarnya, dia tetap mau seperti ini denganku?

Sampai di kelas kami pun menaruh tas kami masing-masing. Aku langsung mengajaknya keliling sekolah. Saat sampai di kantin sekolah, dia mengajakku untuk duduk sebentar.
”Eh De... Kamu itu orangnya asyik banget ya.. Jujur baru pertama kali aku nemuin orang kayak kamu.”
”Ah, masak sih? Biasa aja kali Sri...”
”Yee.. Bener Tahu.”
”Ya.. Makasi.. Tapi jujur sudah hampir dua setengah tahun aku sekolah disini, kamulah teman pertamaku.”
”Kok bisa?”
”Aku sendiri juga nggak ngerti Sri. Nggak ada yang mau berteman denganku di sini.”
”Padahal kamu kan orangnya asyik...................” Belum selesai Sri berbicara, tiba-tiba. “Apanya yang asyik? Dia itu hanya anak seorang buruh serabutan, katrok, wong n’deso, sekolahnya gratisan..........” Seseorang menjelek-jelekanku di depan Sri. Dia nggak henti-hentinya menjelek-jelekan aku. Aku hanya bisa diam, sedikitpun nggak bisa mengeluarkan kata-kata.
“Diam lho...!” Sri membelaku. “Lho kali yang seperti itu. Biarpun Ade seperti itu, tapi dia masih punya rasa, masih punya hati. Nggak kaya lho, punya banyak duit, tapi rasa dan hati lho entah lho buang di mana. Atau emang udah lenyap kali dari dunia ini.” Mendengar perkataan Sri, orang itu langsung pergi.
Aku langsung berpikir. ”Ya Tuhan... Padahal dia baru kenal denganku, dia udah mau membelaku seperti ini.”
Sri menatapku dengan serius. ”De... Yang sabar ya De. Aku nggak kayak mereka-mereka kok. Meski aku baru kenal dengan kamu, aku yakin kok kalo kamu itu orangnya baik.”
”Makasi banget Sri.. Tapi kamu nggak malu kan punya temen kayak aku nie?”
”Ya nggak lah De. Ngapain aku malu? Kita jadi orang nggak boleh milih-milih temen De.”

Akhirnya pertemananku dengan dia berjalan dengan baik. Hari-hari di sekolah kujalani bersamanya. Benar-benar dia nggak seperti yang aku bayangin sebelumnya. Hanya dia lah yang mau menjadi temanku, mau menerimaku meski keadaanku seperti ini. Sedikitpun merasa nggak malu menjadi temanku. Mungkinkah dia mau ngejalanin hubungan yang lebih dari hanya sebatas teman denganku?